Pada tanggal 14 November 2018, Ketua Dewan Eurasian Economic Commission (EEC) dan Sekretaris Jenderal ASEAN menandatangani Nota Kesepahaman / Memorandum of Understanding (MoU) antara EEC dan ASEAN di Singapura. MoU ini merupakan cikalbakal kerjasama yang lebih konkrit antara ASEAN dan EEC. EEC adalah badan eksekutif dari Eurasian Economic Union (EAEU) yang terdiri dari Republik Armenia, Republik Belarus, Republik Kazakhstan, Republik Kyrgyzstan dan Federasi Rusia.
Tujuan utama EEC adalah memastikan fungsi dan pengembangan EAEU, serta mengembangkan proposal untuk pengembangan integrasi lebih lanjut. Kerjasama perdagangan antara ASEAN dan EAEU akan meliputi kerjasama di bidang customs and trade facilitation, sanitary and phytosanitary measures, e-commerce, perdagangan barang dan jasa, serta investasi. Kerjasama perdagangan ini juga nantinya akan meningkatkan upaya pengembangan UMKM yang berkelanjutan.
ASEAN-Eurasia Economic Union (EAEU) FTA bertujuan untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan mengurangi bahkan mengeliminasi hambatan tarif maupun non-tarif perdagangan barang, namun untuk kepentingan Indonesia, diperlukan suatu kajian untuk menganalisis posisi Indonesia dalam kerangka kerjasama perdagangan ASEAN- Eurasia Economic Union (EAEU). Kajian ini memiliki ruang lingkup analisis perdagangan barang. Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional (Puska KPI BPPP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kajian Potensi dan Manfaat Pembentukan Kerjasama Perdagangan ASEAN – Eurasian Economic Union (EAEU) FTA Bagi Indonesia” pada hari Rabu (15/9).Diskusi dipimpin oleh Kepala Puska KPI BPPP ini dihadiri oleh Narasumber dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Ibu Widyastutik, serta perwakilan Kementerian/Lembaga terkait, serta diikuti oleh beberapa asosiasi dan pelaku eksportir yang dilakukan secara virtual.
Dalam diskusi terbatas tersebut dibahas beberapa hal yang mendukung analisis untuk menggali potensi dan manfaat pembentukan Kerjasama Perdagangan ASEAN – EAEU. Hasil diskusi ini akan dikaji lebih lanjut oleh Puska KPI BPPP dan menjadi bahan penyusunan kajian dimaksud.
Menurut Benny Soetrisno pada kesempatan tersebut menyampaikan, konsekuensi perjanjian perdagangan adalah terbukanya pasar domestik. Dalam mengantisipasi pengaruh negatif terbukanya pasar pemerintah harus membangun benteng pertahanan yang kokoh melalui kebijakan non-tariffmeasures (NTM)/non-tariffbarriers (NTB) guna perlindungan pasar ; Perlindungan pasar lokal dengan mengoptimalkan instrumen WTO al.non-tariff measures(NTM)/non-tariffbarriers(NTB), safeguard, anti-dumping, dananti-subsidi; Menerapkan �Domestic Market Obligation� sebagaijaminanbahan baku industri lokal.
Sementara pada umumnya untuk permasalahan ekspor saat ini adalah terkait logistik /kontainer, yang mengganggu cash flow. Pembiayaan ekspor dengan adanya LPEI diharapkan bisa membantu eksportir. Sementara lainnya, Rusia yang merupakan negara EAEU dengan perekonomian terbesar, merupakan potensi tujuan ekspor Indonesia. Namun demikian yang perlu diperhatikan bahwa �negara ini� (Rusia) untuk hal dokumen sangat detail. Total perdagangan Indonesia-Rusia pada 2020 tercatat sebesar US$ 1,93 miliar dengan nilai ekspor Indonesia ke Rusia sebesar US$ 0,97 miliar dan impor Indonesia dari Rusia sebesar US$ 0,96 miliar.
Selanjutnya dalam FDG tersebut memutuskan ada 5 indikator yang menjadi perhatian utama dalam melakukan ekspor ke EAEU dan sesuai presentasinya yakni yang pertama terkait tariff; dan daya saing komodisi Indonesia di EAEU sama pentingnya, kemudian disusul pertumbuhan eskspor komoditi Indonesia di EAEU, kemudian market share komoditi Indonesia di EAEU, market size komoditi Indonesia di EAEU. (R)
Discussion about this post