Dia menilai perubahan formula pengupahan, termasuk penambahan upah sektoral, dapat berdampak negatif pada sektor padat karya, seperti industri alas kaki. Perubahan tersebut, menurut Eddy, hanya akan menambah beban yang tidak terduga bagi perusahaan dengan tenaga kerja dalam jumlah besar, sehingga menjadi kontraproduktif bagi dunia usaha, ekonomi nasional, dan kesejahteraan pekerja. “Tidak ada alasan untuk merubah formula penetapan upah,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (20/11/2024).
- Penambahan beban industri bisa sebabkan investor cabut dari RI
Eddy khawatir penambahan beban bagi dunia usaha, terutama saat pasar sedang mengalami kontraksi, dapat melemahkan daya tahan dan daya saing perusahaan, baik di pasar domestik maupun ekspor. Kondisi tersebut, menurutnya, tidak hanya berpotensi mengurangi penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat yang belum bekerja, tetapi juga berisiko memicu hilangnya pekerjaan bagi angkatan kerja yang sudah bekerja. Lebih lanjut, dia menyoroti perubahan formula pengupahan dapat mempercepat relokasi perusahaan padat karya dari daerah dengan upah minimum tinggi ke wilayah dengan upah lebih rendah. “Jika kemudian yang dilihat negatif adalah daya saing secara nasional oleh investor; potensi relokasi bisa terjadi hingga keluar dari lndonesia. Pindah ke negara pesaing lndonesia yang lebih kompetitif,” ujarnya.
- Aprisindo sebut penghitungan UMP masih bisa pakai formula lama.
Eddy menilai formula penetapan upah minimum masih dapat menggunakan indeks tertentu sebagaimana diatur dalam PP 36 Tahun 2021 yang telah diperbarui melalui PP 51 Tahun 2023. Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memengaruhi penggunaan formula tersebut. Dia juga berpendapat upah minimum saat ini sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan layak pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun, sementara pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun mengikuti struktur upah yang bersifat proporsional. Terkait usulan penambahan norma baru untuk menetapkan upah sektoral, Eddy menilai hal itu memerlukan pengaturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. “Pengaturan oleh pemerintah pusat diperlukan untuk memberikan rambu-rambu bagi daerah dalam menetapkan upah sektoral yang menjadi norma tambahan dari putusan MK,” paparnya. Namun disisi lainnya sekotor padat karya justru termasuk menjadi sektor paling sensitive dan mudah terpengaruh atas perubahan kebijakan ketenagakerjaan termasuk juga dengan pengupahan.
- Industri alas kaki bisa bantu capai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Eddy menekankan pentingnya mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan daya saing dalam penetapan upah minimum maupun upah sektoral. Dia menilai sektor padat karya tidak seharusnya dikenakan kebijakan upah sektoral karena berpotensi merugikan perusahaan dan pekerja. Oleh karena itu, dia memperingatkan kebijakan pengupahan yang tidak berpihak pada sektor tersebut dapat berdampak negatif pada keberlanjutan kesejahteraan pekerja dan masyarakat. Terlebih, sektor padat karya merupakan penyerap tenaga kerja berkeahlian rendah yang efektif dalam mendorong pemerataan kesejahteraan, khususnya di Indonesia. Di bawah Presiden Prabowo Subianto, ekspor alas kaki diproyeksikan tumbuh hingga 100 persen dan mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Namun, sektor tersebut sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk pengupahan. “Baro-boro bisa mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen malah kita akan rugi double akibat kehilangan investasi dan kehilangan kelas menengah secara bersamaan,” tambahnya. (sumber idntimes.com)